Minggu, 25 Januari 2009

Sastra Sufi; Dulce at Utile

Sastra Sufi, Dulce et Utile


Dalam opini masyarakat kita, karya sastra sarat akan nilai estetika dan etika. Pada angkatan sebelum Pujangga Baru, nilai sebuah karya sastra haruslah bersifat mendidik; penuh etika (akhlaq). Namun pada perkembangan selanjutnya, karya sastra yang merupakan repsentasi dan manifestasi atas pemikiran dan ideologi penciptanya (sastrawan) haruslah memiliki nilai estetika (keindahan) yang dominan dalam penyampaiannya dengan bahasa, seperti yang terjadi di era Angkatan 45.


Sebenarnya, berbicara mengenai nilai yang terkandung di dalam karya sastra itu sifatnya subjektif. Sebab, pembaca sastra memiliki hak mutlak untuk memberikan interpretasi terhadap muatan etika atau estetika pada karya tersebut. Namun, kontrofersi mengenai kedudukan etika dan estetika ini, nampaknya memberikan sinyalir bahwa kedua nilai ini tidak dapat dipersatukan di dalam sastra. Sehingga pada perkembangan selanjutnya melahirkan sebuah konvergensi, di mana keindahan sebuah sastra tetap terjaga namun juga melahirkan pesan-pesan moral (dulce et utile).

***


Pada pertengahan abad 8 sampai akhir abad 11, yakni sekitar 350 tahun lamanya, merupakan periode kejayaan sastra Arab. Saat itu, studi literatur tentang prosa dan puisi yang didasarkan pada metode-metode kritis yang bagus dan prinsip-prinsip psikologis ilmiyah, mencapai puncak yang elok nan gemilang. Pada literatur ini juga banyak ditemukan karya-karya tentang asketisisme yang dipersembahkan untuk menjelaskan perbuatan dan perkataan kaum sufi. Kontribusi kaum sufi terhadap teks-teks dalam membentuk sumber-sumber utama dan dasar-dasar studi adab sangat signifikan. Puisi dan perbuatan kaum sufi baik dari generasi awal maupun generasi selanjutnya juga dibahas secara lengkap dalam cabang-cabang adab Arab, termasuk dalam tatabahasa Arab (nahwu).


Menurut Abdul Hadi WM, sastra sufi adalah sastra yang menyampaikan pengalaman-pengalaman keruhanian sarat makna dan menggunakan bahasa simbolik yang dapat mencerahkan keimanan pembacanya. Landasan ekspresi sastra sufi adalah pengalaman transendental yang berhubungan erat dengan ketauhidan, penyaksian bahwa tuhan itu satu, atau dengan perkataan lain hanya Tuhan saja Yang Ada dan selain-Nya secara hakiki tiada.


Keindahan sastra sufi di sini bisa menjadi alat menuju jalan kerohanian. Namun demikian, tidak mesti karya sastra atau seni mesti merupakan ekspresi religiuitas dan spritritualitas dalam pengertian yang sempit. Bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan spiritualitas dan religiuitas itu seperti puisi-puisi pujian terhadap Nabi Muhammad. Ekspresi tersebut memiliki kedudukan istimewa dalam peradaban Islam, sebab yang diungkapkan adalah perjalanan rohani manusia menuju kebenaran tertinggi; tauhid.


Sebab keterkaitannya dengan pencapaian tauhid, estetika Islam bersifat konsentrik; memusat kepada Yang Satu atau kesaksian Yang Satu. Karena itu, secara garis besar renungan ahli estetika Islam tentang keindahan, berkisar di sekitar keindahan Yang Mahaesa. Renungan estetikus muslim tentang keindahan estetis, dapat disingkap melalui tamsil-tamsil yang digunakan untuk mengungkapkan tahapan menuju Yang Mahaesa.


Sastra Sufi Nusantara


Dalam sulalah al-salatin (sejarah Melayu) yang ditulis pada permulaan abad ke-17M, diceritakan bahwa seorang sultan Malaka pada pertengahan abad ke-15 M, Mansyur Syah, menaruh perhatian yang besar terhadap tasawuf. Dicerikatakan pula bahwa dua orang wali dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri, ketika masih muda pergi ke Malaka untuk memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab, khususnya ilmu tasawuf (Winstedt 1971:85). Bersama ini (penerimaan terhadap estetika sufi ini), penulis-penulis Melayu mulai berkenalan dengan teori sastra atau ilmu puitika Islam yang dikembangkan oleh Ibnu Sina, Abdul Qahir al-Jurjani dan lain-lain.


Karya sastra yang memadukan estetika dan etika tidak hanya terdapat pada sastra Melayu saja, akan tetapi dalam sastra Jawa, Sunda dan Madura banyak dijumpai hal yang sama dengan sastra Melayu; kentalnya nuansa tasawuf dalam karya mereka, seperti yang banyak terdapat dalam tembang-tembang suluk.


Sejarah di atas membuktikan bahwa jauh sebelum masa Pujangga Muda dan Angkatan 45, sudah berkembang sastra yang memiliki konvergensi nilai estetika dan etika. Dan, sastra tersebut selalu menjadi kajian pada perkembangan sastra selanjutnya. Sebagai akhir dari tulisan ini, ada baiknya jika renungkan bersama kata bijak dari Ibrahim bin Adham; meskipun kita sudah memperindah perkataan kita dan tidak melakukan kesalahan apapun dalam ungkapan sastrawinya, namun perbuatan kita telah terkubur dengan kesalahan. Lebih baik jika kita memperbaiki dan memperindah perbuatan kita, daripada hanya menghiasi perkataan kita.[]